
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin banyak merek lokal yang mulai mengadopsi konsep slow fashion. Salah satu contoh yang menonjol adalah Sejauh Mata Memandang, sebuah brand yang dikenal dengan desain kainnya yang ramah lingkungan dan proses pembuatan yang melibatkan pengrajin lokal. Seiring dengan tren ini, banyak desainer muda juga mulai memasukkan elemen-elemen keberlanjutan ke dalam koleksi mereka.
Dalam wawancara dengan Harper’s Bazaar Indonesia, Chitra Subyakto, pendiri Sejauh Mata Memandang, mengatakan, “Kami berusaha untuk tidak hanya menjual produk, tetapi juga menceritakan kisah di balik setiap potongan kain. Prosesnya lambat, tapi itulah inti dari slow fashion. Kami ingin konsumen memahami bahwa setiap potongan kain memiliki nilai dan cerita.”
Pernyataan ini menggambarkan esensi slow fashion yang berfokus pada kualitas, keaslian, dan keberlanjutan.
Konsep slow fashion tidak bisa dipisahkan dari ekonomi sirkular, sebuah model yang bertujuan untuk memperpanjang umur produk dan meminimalkan limbah. Dalam konteks fashion, ekonomi sirkular berarti mendaur ulang pakaian lama, mengubah bahan yang tidak terpakai menjadi produk baru, dan mempromosikan perbaikan dan penggunaan ulang.
Sebuah laporan dari Ellen MacArthur Foundation menyebutkan bahwa hanya kurang dari 1% dari bahan yang digunakan untuk memproduksi pakaian yang didaur ulang menjadi pakaian baru. Namun, angka ini diharapkan meningkat seiring dengan adopsi prinsip-prinsip ekonomi sirkular yang lebih luas dalam industri mode.
Stella McCartney, seorang desainer mode terkenal yang selalu menjadi pendukung keberlanjutan, menyatakan kepada The Business of Fashion, “Mode harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Kami memiliki tanggung jawab untuk meminimalkan dampak terhadap planet ini dengan mendesain produk yang tidak hanya terlihat bagus, tetapi juga baik bagi bumi.”