Namun, di balik semua manfaat ini, muncul pula tantangan etis yang signifikan. Salah satu masalah terbesar adalah penggunaan AI generatif dalam menghasilkan “deepfake” atau konten palsu yang sangat realistis. Konten semacam ini bisa digunakan untuk menyebarkan disinformasi atau bahkan melakukan penipuan.
Laporan dari The Guardian menyatakan bahwa “AI generatif membawa risiko besar terkait privasi dan keamanan, terutama ketika digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.”
Isu lain yang sering diangkat adalah hak cipta dan kepemilikan intelektual. Jika sebuah karya seni atau konten dihasilkan oleh AI, siapa yang sebenarnya memiliki hak atas karya tersebut? Hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan hukum dan teknologi.
“We need new frameworks to address intellectual property issues in the age of AI,” kata Ryan Abbott, profesor hukum di University of Surrey, dikutip dari BBC News. Menurutnya, ada kebutuhan mendesak untuk menetapkan pedoman yang jelas tentang siapa yang memiliki karya yang dihasilkan oleh AI.
Meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, masa depan AI generatif tampak menjanjikan. Banyak pakar percaya bahwa AI ini tidak akan menggantikan manusia tetapi justru akan menjadi alat kolaborasi yang kuat. Dalam artikel yang dipublikasikan oleh Harvard Business Review, Richard Socher, CEO dari You.com dan mantan Chief Scientist di Salesforce, menekankan bahwa “Generative AI should be seen as a tool that amplifies human creativity, not replaces it.”