Trends.co.id, Belanda – Udara sejuk dan wangi pohon maple yang segar menyapa pagi penulis di Arnhem, Belanda, Rabu, 12 November 2025. Ini adalah hari ketiga, sekaligus negara ketiga, dalam perjalanan wisata di musim gugur bersama Travel Jalan Langit, saat kami menyambangi Negeri Kincir Angin.
Di tengah kesegaran pagi itu, sebuah perasaan damai dan nyaman tiba-tiba terbesit di hati. Ada sebuah bisikan kecil yang menggoda untuk tinggal lebih lama.

Perasaan nyaman itu bukan sekadar karena pemandangan indah musim gugur. Ia terasa seperti cerminan dari sebuah kehidupan yang tertata, harmoni yang telah lama terjalin antara manusia, alam, dan aturan.
Perasaan inilah yang memicu rasa penasaran saya: Ada apa sebenarnya di balik ritme kehidupan Belanda yang membuatnya terasa begitu menenangkan?
Temukan jawabannya dalam penelusuran kami berikut ini.
Belanda, negeri yang dikenal dengan kincir angin dan tulipnya, menyimpan sebuah ritme kehidupan yang unik. Sebuah simfoni keteraturan yang berpadu dengan pilihan-pilihan personal yang mendalam. Untuk memahaminya, kita tidak bisa hanya melihat dari kartu pos; kita perlu merasakannya.
Agil, seorang Tour Leader Eropa yang juga pernah mengecap asam garam kehidupan sebagai pelajar di sana, berbagi pandangannya. Baginya, Belanda bukan sekadar destinasi, tapi sebuah sekolah kehidupan.
“Hal pertama yang akan Anda sadari adalah sepeda,” ujar Agil saat memandu kami. “Di sini, jumlah sepeda lebih banyak daripada manusia.”
Ini bukan sekadar data statistik. Ini adalah filosofi. Sebuah pilihan sadar untuk hidup lebih sehat, lebih ramah lingkungan, dan lebih teratur.

Keteraturan adalah kata kunci. Kehidupan di Belanda, menurut Agil, berjalan di atas rel disiplin yang ketat. Hal ini terefleksi jelas di jalanan mereka, yang terbagi rapi menjadi tiga bagian: jalur pejalan kaki, jalur khusus sepeda, dan jalur mobil.
Setiap inci ruang memiliki fungsinya, dan setiap orang menghormatinya. “Kita harus sangat memperhatikan jalan ini ya saat berjalan kaki,” Agil mengingatkan. “Jangan mentang-mentang jalur sepeda kosong, terus kita seenaknya berjalan di jalur sepeda.”
Kutipan sederhana itu menyiratkan sebuah pelajaran besar. Disiplin di Belanda bukanlah ketakutan akan hukuman, melainkan bentuk tanggung jawab sosial. Keteraturan adalah cara mereka saling menjaga.
Disiplin ini meresap hingga ke urusan rumah tangga. “Mereka punya bank sampah dan sistem pemilahan yang sangat ketat,” tambah Agil.
Setiap individu bertanggung jawab atas limbah yang mereka hasilkan, sebuah cermin individualisme yang berorientasi pada kebaikan bersama.
Selain itu, selama di Belanda wisatawan sangat jarang bahkan tidak pernah mendengar suara klatson, karena, kata Agil, menurut warna lokal, klatson adalah tindakan tidak sopan.
Namun, di balik fasad keteraturan itu, ada sebuah realitas yang mungkin terasa asing bagi kita di Indonesia. “Hidup mereka sangat individual,” ungkap Agil.
Fokus pada diri sendiri dan keluarga inti membuat kehidupan sosial mereka berbeda. Agil mengakui, ini adalah salah satu “kekurangan” jika dibandingkan dengan kultur komunal Indonesia yang hangat.
“Mereka kurang silaturahmi,” katanya jujur. Tidak ada tradisi berkunjung mendadak ke tetangga untuk sekadar minum teh, atau kumpul-kumpul warga yang riuh rendah.
Individualisme ini, bagaimanapun, diimbangi oleh negara. Pemerintah hadir dalam merencanakan kehidupan warganya. “Banyak pengembangan pemukiman baru yang disubsidi pemerintah, dan penduduk direlokasi ke tempat yang lebih baik,” jelas Agil.
Negara memastikan warganya hidup layak, meski interaksi antarwarga tak sehangat di khatulistiwa.

Ada sebuah pola migrasi yang menarik dalam siklus hidup penduduk Belanda. Desa-desa pertanian, meski terlihat sepi, sebenarnya adalah rahim dari generasi baru. “Di desa, kebanyakan adalah anak-anak dan orang tua,” papar Agil.
Anak-anak di bawah umur masih tinggal bersama orang tua mereka di pedesaan yang asri. Namun, begitu menginjak usia dewasa, mereka akan “terbang” ke kota-kota besar untuk menuntut ilmu atau mengejar karier. Lalu, ke mana perginya para orang tua?
“Banyak pasangan lansia memilih menghabiskan masa tua mereka di pelosok-pelosok,” kata Agil.
Ini adalah sebuah pilihan yang mengharukan sekaligus menginspirasi. Setelah puluhan tahun bekerja di tengah hiruk pikuk kota, mereka mencari ketenangan di usia senja. Mereka tidak merasa terasing, karena Belanda memastikan konektivitas adalah hak. “Meskipun tinggal di desa-desa, akses transportasi mereka sangat terintegrasi. Semua terhubung,” tegas Agil.

Sebagai seorang Tour Leader, Agil melihat bahwa tempat-tempat yang paling ramai dikunjungi wisatawan sebenarnya adalah etalase dari karakter bangsa Belanda itu sendiri.
“Tempat wisata di sini bukan hanya soal keindahan, tapi soal cerita tentang perjuangan dan perencanaan,” jelas Agil.
Ambil contoh kanal-kanal Amsterdam. Bagi turis, ini adalah tempat berfoto yang romantis. “Tapi bagi orang Belanda,” kata Agil, “ini adalah simbol kemenangan mereka atas air. Ini adalah mahakarya perencanaan kota yang presisi, sama seperti tiga jalur di jalanan mereka.”
Hal yang sama berlaku untuk Keukenhof, taman tulip yang melegenda. Jutaan kuntum bunga mekar dengan keteraturan yang memesona. Itu bukan alam liar. Itu adalah alam yang diatur, didesain dengan disiplin tinggi. Itu sangat Belanda.
Hanya saja saat musim gugur, bunga tulip tidak lagi mekar. Ia biasanya mekar pada musim semi, yaitu sekitar akhir Maret hingga pertengahan Mei. Waktu terbaik untuk menikmati keindahan tulip berada di pertengahan April, ketika hamparan ladang bunga berada dalam kondisi paling indah dan berwarna-warni.
Sebagai gantinya, wisatawan akan disuguhkan pemandangan daun maple yang berguguran, berwarna kuning keemasan, menghadirkan suasana romantis yang hangat dan penuh cinta.

Tentu saja, ada Zaanse Schans atau Kinderdijk, di mana kincir-kincir angin kuno masih berdiri gagah. Tempat ini, menurut Agil, adalah jembatan antara masa lalu agraris yang tenang – seperti kehidupan desa yang ia ceritakan dengan masa kini yang modern.
Namun, di antara semua gemerlap itu, ada dua titik yang paling menyentuh sisi humanis: Rijksmuseum atau Van Gogh Museum, tempat perayaan kejeniusan individu, dan Anne Frank House. Mengunjungi Anne Frank House adalah sebuah pengalaman yang menggetarkan. Di sana, di loteng yang sempit itu, kita diingatkan tentang kerapuhan kemanusiaan, sekaligus kekuatan sebuah harapan individu. Ini melampaui sekadar ‘wisata’.
Bagi Agil dan ribuan orang Indonesia lainnya di sana, Belanda juga menawarkan sebuah ironi yang manis. Di tengah kultur yang begitu berbeda, kerinduan akan tanah air justru mudah terobati.
“Enaknya di Belanda, tidak sulit menemukan makanan Indonesia,” tuturnya sambil tersenyum. “Ada banyak restoran khas Indonesia, dan banyak juga bahan-bahan makanan Indonesia dijual di toko-toko.”
Kehadiran bumbu rendang atau sepotong tempe di supermarket lokal menjadi oase kecil, pengingat bahwa sejauh apa pun melangkah, rumah selalu punya cara untuk menyapa.
Pada akhirnya, hidup di Belanda adalah sebuah cermin. Cermin bagi kita untuk menghargai keteraturan dan disiplin. Cermin untuk melihat bagaimana sebuah negara menata kehidupan warganya dari buaian hingga usia senja.
Namun, di saat yang sama, ia juga menjadi cermin yang mengingatkan kita betapa berharganya kehangatan silaturahmi yang kita miliki di Indonesia. Seperti yang diceritakan Agil, mungkin harmoni yang ideal adalah gabungan keduanya: keteraturan sistem Belanda dan kehangatan hati Indonesia.