TRENDS.CO.ID, China – Industri tenaga surya China tengah mengalami transformasi besar dalam strategi produksinya, di mana perusahaan-perusahaan terkemuka di sektor ini memindahkan basis produksi mereka ke Indonesia dan Laos. Langkah ini dilakukan sebagai upaya menghindari dampak tarif perdagangan Amerika Serikat yang semakin meluas di kawasan Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
Menurut laporan terbaru, sejumlah proyek tenaga surya China yang baru diresmikan di Indonesia dan Laos diprediksi memiliki kapasitas untuk memenuhi sekitar setengah dari permintaan panel surya di AS. Fenomena ini bukan hanya bentuk upaya menghindari beban tarif, tetapi juga strategi pemanfaatan celah regulasi yang ditinggalkan oleh kebijakan perdagangan AS.
Sementara AS terus meningkatkan tarif untuk mengurangi dominasi China di pasar surya domestik, perusahaan-perusahaan China bergerak cepat dengan membangun infrastruktur baru di negara-negara lain di Asia Tenggara.
Kapasitas yang dibangun di Indonesia dan Laos disebut-sebut mencapai 22,9 gigawatt, yang sebagian besar hasil produksinya akan diekspor ke AS, pasar surya terbesar kedua di dunia. Harga panel di AS yang 40 persen lebih tinggi daripada di China semakin menarik bagi eksportir surya China.
Menurut William A. Reinsch, mantan pejabat perdagangan AS, fenomena ini menggambarkan “permainan kucing dan tikus” antara kebijakan perdagangan AS dan taktik perusahaan China.
“Ini adalah bentuk adaptasi yang cepat dalam industri global, di mana aturan-aturan perdagangan membuat AS selalu tertinggal satu langkah,” ujar William dilansir dari channelnewsasia.com, Senin (4/11/2024).
Terlepas dari upaya AS, data SPV Market Research menunjukkan bahwa China masih menyumbang sekitar 80 persen dari ekspor panel surya dunia. Kebijakan tarif yang diterapkan selama lebih dari satu dekade tampaknya belum efektif membatasi dominasi China di pasar energi terbarukan ini.
Justru, tarif-tarif tersebut telah menjadi pemicu meningkatnya impor perlengkapan solar AS yang tahun lalu mencapai angka rekor 15 miliar dolar AS, dengan sekitar 80 persen impor berasal dari pabrik China yang beroperasi di Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
Di sisi lain, strategi ekspansi China di negara-negara Asia Tenggara juga menjadi tantangan bagi produsen panel surya AS yang merasa tidak mampu bersaing dengan harga rendah produk China, yang diduga mendapat subsidi besar dari pemerintah China.
Legislator AS dari Partai Republik maupun Demokrat menyuarakan dukungan untuk kebijakan tarif yang lebih ketat guna menjaga stabilitas rantai pasokan domestik. Namun, di tengah situasi ini, perusahaan China tetap optimis bahwa efisiensi teknologi mereka adalah faktor kunci di balik keunggulan harga, bukan semata-mata subsidi.
Langkah China dalam meningkatkan produksi di luar negeri, termasuk di Indonesia dan Laos, memberikan gambaran tentang strategi yang lebih canggih dan adaptif dalam menghadapi kebijakan perdagangan global. Meskipun demikian, dinamika ini berpotensi mengundang langkah-langkah proteksi yang lebih ketat dari pemerintah AS di masa mendatang.
Akses mudah jadwal sholat, imsak, dan buka puasa harian untuk seluruh Indonesia. Informasi akurat untuk ibadah yang lebih khusyuk & berkah