
Tidak hanya merek besar atau desainer yang terlibat dalam gerakan ini, komunitas-komunitas kecil juga berperan penting. Di berbagai kota, seperti di Jakarta dan Bandung, mulai bermunculan komunitas yang berfokus pada pendidikan tentang slow fashion dan ekonomi sirkular. Mereka sering mengadakan workshop, swap party (tukar baju), serta kampanye kesadaran yang mengajak konsumen untuk lebih bijak dalam membeli pakaian.
Salah satu komunitas di Jakarta, Kriya Indonesia, misalnya, mempromosikan pembuatan pakaian dari bahan-bahan sisa dan mengadakan kelas menjahit bagi masyarakat. Dalam sebuah acara, Rina Purwanto, salah satu pendiri Kriya Indonesia, menjelaskan kepada The Jakarta Post, “Kita semua dapat menjadi bagian dari solusi. Membuat pilihan yang lebih sadar dan bertanggung jawab adalah langkah awal. Dengan mendukung slow fashion, kita mendukung para pengrajin lokal dan memperpanjang siklus hidup pakaian kita.”
Meskipun slow fashion semakin populer, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Harga yang lebih tinggi dibandingkan fast fashion bisa menjadi salah satu hambatan bagi konsumen. Namun, banyak pihak percaya bahwa kesadaran yang meningkat tentang dampak lingkungan dan sosial dari mode cepat akan mendorong lebih banyak orang untuk beralih ke opsi yang lebih berkelanjutan.
Orsola de Castro, pendiri gerakan Fashion Revolution, mengatakan kepada BBC, “Slow fashion adalah masa depan. Konsumen mulai bertanya ‘Siapa yang membuat pakaian saya?’ dan ‘Apa dampaknya terhadap lingkungan?’ Ini adalah pertanyaan penting yang harus kita jawab dengan lebih banyak transparansi dan integritas.”
Dengan semakin banyaknya merek yang beralih ke arah yang lebih berkelanjutan dan konsumen yang lebih sadar, 2024 bisa menjadi tahun di mana slow fashion dan ekonomi sirkular benar-benar mendapatkan tempat di hati para pecinta mode. Ini bukan hanya tentang tren, tetapi juga tentang tanggung jawab kita terhadap planet ini.