
“Hari itu aku memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah. Untuk meyakinkan wali kelas dan teman-teman aku menulis sepucuk surat sakit. Ketidakhadiranku di sekolah semata-mata faktor alam. Bukan karena sakit.”
Dalam sepekan hujan di kotaku tidak pernah berhenti. Situasi ini membuat jalanan sepi. Tidak seperti biasanya hiruk pikuk kendaraan di jalanan dengan bunyi klakson keras memekik telinga. Lalu lalang orang-orang berbaur dengan kendaraan di jalanan seolah berpacu mengejar waktu. Aku sendiri bingung tidak tahu harus berbuat apa di tengah guyuran hujan di uar sana. Untuk mengusir rasa jenuh aku membaca sebuah buku Novel karangan Fredy S. Buku cetakan edisi lama itu aku lahap satu demi satu halaman hingga bagian akhir. Sambil m membaca, aku membayangkan wajah Asmirandah kekasihku.
Novel berisi tentang percintaan dua remaja yang masih duduk di bangku SMA semakin menghanyutkan. Perlahan wajah Asmirandah atau yang biasa disapa Mira seakan kian mendekati diriku. Rupanya aku terlalu dalam menghayati isi buku Fredy S hingga imajinasiku membawa wajah Asmirandah ke arahku seakan akan menyapaku dengan suaranya yang lembut bagaikan benang sutra. “Hai mas Fandi”
Seperti dalam mimpi antara alam nyata dan dunia maya, antara sadar dan tidak sadar aku mendesah menyebut namanya. Nama kekasihku. Miraaaa..
Astaga aku terbawa oleh permainan kata-kata cinta yang ditulis Fredy S. Lamunanku mendadak buyar bersamaan dengan bel di depan rumahku. Kriiing….
Aku melompat dari tempat tidur dengan selimut masih menempel di tubuh, menuju arah bel berbunyi. Siapa tahu ada tamu. Pikirku. Di rumah, dipasangi bel di tembok dekat pintu masuk. Kata bapak agar bisa mempermudah bila ada tamu yang datang tidak perlu memanggil penghuni rumah. Cukup tekan tombol kecil berwarna putih menyerupai stop kontak listrik di dalam rumah. Untuk memperjelas, di dekat tombol ada tulisan kecil. Bell. Maksudnya menuntun tamu agar memenjet tombol.
Beberapa bunga yang ditanam ibu di halaman rumahku, menjuntai ke atas tembok namun masih kelihatan tombol tersebut. Bel berbunyi lagi untuk kedua kalinya. Kali ini diselingi dengan panggilan. “Pos.. Pos… ”
Seketika aku yang dari tadi seperti orang bersemedi di atas tempat tidur bergegas mempercepat langkah menuju arah suara yang memanggil. Hatiku berbunga-bunga. Sebab bulan lalu aku mengirim surat cinta untuk Mira. Siapa tahu pak pos mengantarkan surat balasan dari Mira.
“Mas ada surat,”ucap pak pos seraya menyodorkan surat beramphalope warna putih bergaris pinggir merah biru berlatar warna pink dengan gambar bunga melatih. Sambil bersiul siul aku berlari kegirangan masuk kamar hingga lupa mengucapkan terimakasih untuk pas pos.