Menembus Sekat Primordial melalui Ajaran Cinta dan Kasih

Romo Martinus Joko Lelono, Pr., selaku Imam Katolik dan Pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. (Dok Foto: PMD BNPT)
sosmed-whatsapp-green
Trends.co.id Hadir di WhatsApp Channel
Follow

TRENDS.CO.ID, Yogyakarta – Rasa cinta atau kasih sayang adalah bahasa kalbu universal. Ia dapat menembus sekat-sekat primordialisme yang seringkali memisahkan manusia atas alasan superfisial. Ajaran Katolik misalnya, menempatkan cinta terhadap sesama ciptaan Tuhan pada derajat yang tinggi, sehingga diharapkan para manusia bisa memuliakan terhadap sesamanya.

Mengenai hakikat cinta dalam ajaran Katolik, Romo Martinus Joko Lelono, Pr., selaku Imam Katolik dan Pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menjelaskan bahwa Tuhan menginginkan para manusia untuk bisa saling mengasihi dan mengupayakan kesejahteraan bersama.

“Ajaran Gereja Katolik tidak secara langsung bicara tentang nasionalisme atau cinta terhadap negara, namun banyak ayat yang mengajak umat manusia untuk bisa menganggap manusia lainnya sebagai satu keluarga. Esensinya, manusia diciptakan menurut gambar Allah, yang ‘menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami seluruh muka bumi’ (Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri,” terang Romo Martinus di Yogyakarta, Selasa (5/8/2025).

Walaupun nasionalisme tidak secara eksplisit menjadi bagian dari pengajaran Gereja Katolik, Romo Martinus menyebutkan bahwa Mgr. Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama Indonesia, pernah menyampaikan pesannya yang kurang lebih berbunyi “kami, 100% Katolik, 100% Indonesia.”

“Semboyan ini menekankan pentingnya keterlibatan aktif umat Katolik dalam kehidupan gereja dan negara, serta menegaskan bahwa menjadi seorang Katolik tidak bertentangan dengan menjadi seorang warga negara Indonesia yang baik,” ungkap Romo. Martinus.

Ia juga menambahkan bahwa cinta kasih terhadap Allah dan sesama manusia merupakan perintah yang pertama dan terbesar, dan hal ini pun telah diterangkan pada Gaudium Et Spess 24.

Selain itu, Romo Martinus juga menjelaskan bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan bersama sudah sewajarnya dilakukan, karena pada dasarnya manusia akan bergantung dengan sesamanya. Seiring dengan meluasnya umat manusia di dunia, maka aspek kesejahteraan umum bersifat universal.

Maksudnya, dalam pemenuhan hak dan kewajiban suatu kaum atau kelompok, maka harus pula memperhatikan aspirasi dan hak dari kelompok lainnya. Hal ini sesuai dengan yang tertulis pada Gaudium et Spess 26.

“Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum adalah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia,” imbuhnya.

Mengenai adanya kelompok keagamaan yang ditengarai sarat dengan kekerasan dalam upaya penyebaran ajarannya di Indonesia, Romo Martinus mengaku tidak khawatir. Dirinya hanya menyayangkan jika masih ada seruan atau ajakan beragama dengan menindas ataupun memandang rendah manusia lainnya.

“Saya pikir ini adalah bagian dari dinamika hidup bersama. Dalam gambaran sosiologi, ini adalah gambaran untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Mereka menggunakan jubah agama untuk mempengaruhi dan menguasai. Saya menyayangkan bahwa di negeri ini masih ada orang-orang yang kurang terpelajar yang masih percaya bahwa kemuliaan agama bisa diraih melalui kekerasan. Kemuliaan agama tidak akan bisa ditempuh dengan jalan yang membawa kesengsaraan bagi sesamanya,” katanya.

Romo Martinus merasa bahwa sesama anak bangsa perlu lebih banyak lagi melakukan perjumpaan lintas keimanan. Negara juga perlu hadir sebagai fasilitator dalam menciptakan kesempatan ini, khususnya dalam menghadirkan sarana dan fasilitas umum yang terbuka bagi semua.

“Anak muda kita perlu memiliki ruang perjumpaan yang lebih banyak dengan mereka yang berbeda. Saya beberapa kali terlibat di dalam gerakan lintas iman di kalangan anak muda, ada cukup banyak peserta yang tidak pernah mengenal orang dari agama lain. Mereka bersekolah dengan teman seagama; bertetangga dengan yang seagama; berkegiatan dengan yang seagama,” tambahnya.

Mengakhiri penjelasannya tentang hakikat cinta dalam kehidupan manusia, Rm. Martinus menyampaikan harapannya agar lembaga pendidikan formal dan non-formal tidak memisahkan pergaulan peserta didik berdasarkan agama yang dianut. Masih sering dijumpai, peserta didik beragama minoritas diberikan materi pembelajaran di ruang yang berbeda, dengan alasan memudahkan pelaksanaan pelajaran agama.

“Hal semacam ini perlu dilawan. Generasi muda perlu saling berjumpa agar mampu mengakui bahwa mereka punya kesalahan, dan orang lain punya kebaikan, serta sebaliknya. Negara perlu menyediakan media perjumpaan, misalnya taman kota, lapangan, jogging track, lapangan skateboard, sehingga orang bisa bertemu dan tidak terkungkung dengan gadget yang dalam beberapa kesempatan menjadi sarana masuknya paham intoleran,” pungkasnya.

Berita Terkait :