
Merujuk pada Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi dapat berupa pemberian dalam bentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas, hingga pengobatan cuma-cuma. Apabila terbukti menikmati gratifikasi, hukumannya bisa mencapai 4 hingga 20 tahun penjara, serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Dalam kasus gratifikasi, penerima tidak harus merupakan pejabat negara. Keluarga atau kerabat yang menikmati fasilitas dari pihak ketiga dapat menjadi dasar bagi penindakan hukum terhadap pejabat negara terkait, terutama jika terbukti bahwa gratifikasi tersebut merupakan bentuk perdagangan pengaruh.
Dilansir dari Tempo, konstruksi hukum serupa pernah diterapkan KPK saat menjerat Andi Zulkarnaen Anwar Mallarangeng, alias Choel Mallarangeng. Choel adalah adik Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alfian Mallarangeng, yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Choel terbukti menerima uang sebesar Rp 7 miliar dari pihak-pihak yang terlibat dalam proyek tersebut dan divonis 3,5 tahun penjara pada 6 Juli 2017 oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Kasus lain yang bisa menjadi contoh adalah kasus Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Syahrul, yang merupakan politisi Partai NasDem, dijerat KPK karena melakukan pemerasan terhadap sejumlah pegawai di kementeriannya dengan nilai mencapai Rp 44,5 miliar. Dalam persidangan terungkap bahwa keluarga SYL juga ikut meminta sejumlah uang kepada para pejabat Kementerian Pertanian.
Dengan adanya preseden hukum tersebut, dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep, sebagai anak dari seorang kepala negara, bisa jadi mengarah pada proses hukum yang serupa. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kaesang atau pihak Sea Group mengenai tuduhan ini. Namun, kasus ini akan terus bergulir seiring dengan penelusuran lebih lanjut oleh KPK.