Cintamu Tak Seperti Anganku

Ilustrasi/AI
sosmed-whatsapp-green
Trends.co.id Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Kutempelkan surat itu di dadaku. Aku menarik napas-dalam membayangkan wajah Mira. Secepat kilat aku membuka surat itu. Rasa tidak sabar untuk segera mengetahui kabar tentang gadis berparas aduhai asal kota Padang itu.

Satu demi satu kata-kata yang ditulis Mira aku membacanya. Mulut komat kamit seperti membaca mantra, dadaku berdegup kencang kayak orang kesurupan. Hingga berhenti sejenak pada kalimat ini. “Mas aku tahu kamu mencintai aku. Tapi maafkan aku. Aku harus jujur bahwa hubungan kita sampai di sini saja. Orangtuaku tidak menginginkan aku berpacaran. Sesuai adat Minang sebagai anak perempuan Mira harus fokus menyelesaikan pendidikan. Mira tahu keputusan ini pasti membuatmu kecewa. Aku minta maaf telah menyakitimu.

Isi surat sesingkat itu, membuat detak jantungku nyaris berhenti berdetak. Aku tahan napas tak percaya pada surat dari Mira. Dua tahun menjalin cinta, aku tahu ia tulus mencintai ku. Lantas kenapa betubah? Gerangan apa yang sedang terjadi dengannya. Surat Miranda, tidak mencerminkan isi hatinya yang selalu manja. Surat itu merobek isi hatiku. Perlahan pandangan mataku mulai kabur. Tertutup kabut oleh air mata. Tanpa kusadari mengalir membedah pipi. Aku cowok yang cengeng dan rapuh dalam urusan asmara. Dalam hal bercinta. “Ah Miranda. Andaikan kutahu sejak awal itu yang kau mau…Aku membatin. Merasakan sakit yang teramat dalam yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dunia tempat aku berpijak terasa bergetar. Goyah.

Surat sakit yang aku kirimkan ke sekolah, rupanya direstui semesta. Aku akhirnya benar-benar sakit. Berhari- hari aku mengurung diri di rumah. Merasakan sakit yang bukan kepalang. Semangat hidup mulai memudar. Jangankan untuk meraih cita-cita setinggi langit. Berpikir untuk menamatkan pendidikan di bangku SMA saja sudah buyar. Antara putus asah karena diputus cinta dan putus sekolah bergumul dalam jiwa. Menabrak relung perasaan paling dalam hingga porak-poranda. “Ah Mira. Cintamu tak seperti anganku,” ucapku menerawang jauh. Menatap langit-langit rumah dengan tatapan kosong.

Diam-diam ibuku mulai curiga melihat aku yang kurang bergairah. Perasaan seorang ibu lebih peka ketimbang ayah. Ia mulai menyelidik perilaku yang biasanya biasa. Aku kadang mengurung diri seperti orang linglung. Ibuku menanyakan apa yang sedang terjadi. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dengan kencang seperti seorang jaksa yang sedang memeriksa keterangan tersangka. Namun aku memilih diam seribu bahasa, tanpa sedikitpun merespon pertanyaannya. Aku membiarkan pertanyaan penuh curiga itu terbang bersama anganku. Bersama perasaan yang mengharu biru. Bersama hati yang patah. Pada garis-garis senja tak bertuan. Pada hasrat yang berserakan laksana dedaunan kering di pinggir telaga.

Pages: 1 2 3
Berita Terkait :