C4C Summit 2025: Saat Pengusaha Kecil Jadi Kekuatan Baru Ekonomi Asia Tenggara

Faye Wongso, Founder KUMPUL/ Foto Andi Mardana
sosmed-whatsapp-green
Trends.co.id Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Trends.co.id, Jakarta – Di tengah dinamika ekonomi global yang kian terpolarisasi antara korporasi besar dan usaha mikro, muncul satu kelompok yang kerap terlewat: the missing middle. Mereka bukan raksasa industri, tapi juga bukan usaha kecil yang masih bergantung pada bantuan sosial. Di sinilah peran KUMPUL, penggerak ekosistem kewirausahaan asal Indonesia, menjadi penting – menjembatani mereka yang “terjebak di tengah” agar bisa melangkah maju.

Melalui ajang Connect for Change (C4C) Summit 2025, KUMPUL mengumpulkan lebih dari 500 tokoh lintas sektor dari Asia-Pasifik – mulai dari pelaku startup, investor, regulator, hingga pembuat kebijakan – untuk membedah persoalan missing middle dan melahirkan solusi konkret bagi pertumbuhan ekonomi inklusif.

“Kalau bicara Asia Tenggara, ini kan seperti blok yang sering dilewati,” tutur Faye Wongso, Founder dan Chairperson KUMPUL, dalam wawancara bersama media di Jakarta, Selasa (21/10).

“Kadang orang fokus ke blok Timur atau Barat, sedangkan kita ini besar tapi seperti belum benar-benar bergerak.” lanjutnya.

Menurutnya, sekitar 97% dari seluruh entitas usaha di Asia Tenggara adalah small and growing businesses (SGBs) – perusahaan menengah awal yang menopang sebagian besar lapangan kerja di kawasan. Namun, kurang dari 30% di antaranya memiliki akses pembiayaan formal. “Mereka ini posisinya di tengah: terlalu besar untuk menerima bantuan langsung dari pemerintah, tapi terlalu kecil untuk mengakses investasi bernilai tinggi,” lanjut Faye.

Akibatnya, banyak SGB terjebak dalam ketimpangan struktural. Model pertumbuhan ekonomi yang biasanya diarahkan pada korporasi besar atau usaha mikro, tidak relevan bagi kelompok ini. “Kita harus mencari channel lain yang lebih inovatif supaya mereka bisa berkembang. Kadang masalahnya bukan pendanaan, tapi capacity building, jaringan, atau mentorship,” ujar Faye.

Atlas: Jembatan Kolaborasi Regional

Untuk menjawab tantangan tersebut, KUMPUL membentuk Atlas Alliance, aliansi lintas negara yang kini melibatkan Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Inisiatif ini dirancang untuk memperkuat ekosistem kewirausahaan lokal sekaligus membuka jalur ekspansi regional.

“Kami ingin membangun jembatan,” jelas Faye. “Agar pelaku usaha di Indonesia bisa outbound ke Thailand atau Vietnam, dan sebaliknya. Karena setiap wilayah punya karakter sendiri – gaya, kebutuhan, dan pendekatannya berbeda.”

Menurutnya, kunci kolaborasi lintas negara ada pada penggerak lokal. “Harus ada local heroes dan ecosystem builders di tiap daerah. Kumpul sejak awal memang punya misi agar roda ekonomi berputar di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di Jakarta atau Jawa.”

Dalam konteks global, langkah ini juga menegaskan posisi Indonesia sebagai penghubung strategis dalam rantai inovasi Asia Tenggara.

SDM dan R&D: Dua Batu Sandungan Besar

Faye menilai, dua hal paling krusial yang perlu segera diatasi adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) dan investasi riset. “Indonesia masih memiliki talent paling rendah di ASEAN. Kuantitasnya hanya 0,2 per seribu populasi, dan dari situ yang punya pengalaman lebih dari 15 tahun atau spesialisasi hanya sekitar 8–11 persen,” jelasnya.

Sementara dari sisi riset, anggaran R&D Indonesia masih di kisaran 0,25–0,28% APBN, jauh di bawah negara-negara lain yang mencapai 3%. “Tanpa R&D, kita tidak akan punya deep tech. Solusi ekonomi kita berhenti di level 1.0 – hanya sebatas menghubungkan pihak A dan B,” katanya.

Faye mencontohkan, teknologi seperti AI bisa meningkatkan hasil panen pertanian atau membantu diagnosis dini di bidang kesehatan. “Kalau belum bisa membuat sendiri, kolaborasi lintas negara jadi penting. Tapi untuk itu, kita perlu local guide agar tidak ‘tersesat di hutan’,” ujarnya sambil tersenyum.

Membangun Kolaborasi antara Startup dan Industri

Sejak awal, KUMPUL aktif bekerja sama dengan pemerintah, namun kini fokusnya bergeser ke kolaborasi dengan korporasi dan industri. “Masalahnya, sering kali startup punya solusi tapi tidak siap memenuhi skala industri besar,” jelas Faye. “Kami bantu menyesuaikan kapasitas mereka lewat partnership exploration.”

Dalam forum C4C Summit, strategi kemitraan ini menjadi pembahasan utama. “Sekarang investor lebih hati-hati, jadi jalur pertumbuhan lain adalah lewat kolaborasi. Misalnya dengan product testing dan market fit, bisnis bisa berkembang tanpa terlalu bergantung pada pendanaan.”

Inklusi Finansial Melalui Inovasi Pembayaran

Salah satu mitra yang turut hadir di forum ini adalah Xendit, perusahaan teknologi finansial asal Indonesia yang kini beroperasi di Malaysia dan Thailand. Tessa Wijaya, Co-Founder Xendit, menjelaskan peran penting digitalisasi pembayaran dalam memperluas akses ekonomi bagi kelompok missing middle.

“Dengan adanya sektor swasta seperti kami, aksesibilitas terhadap pembayaran digital bagi bisnis kecil bisa meningkat,” ujar Tessa. “Kalau tanpa pemain seperti kami, mereka harus mengetuk pintu bank satu per satu, dan belum tentu bisa mengakses semua metode pembayaran.”

Menurutnya, Xendit memungkinkan para pelaku usaha menerima pembayaran digital tanpa integrasi rumit. “Mereka cukup membuat tautan pembayaran dan bisa menerima transaksi QR Code dengan mudah,” jelasnya.

Namun, tantangan terbesar adalah keberagaman sistem di tiap negara. “Aksesibilitas itu penting – baik untuk membuka rekening bank maupun sarana penyimpanan digital. Tanpa itu, sulit bagi mereka untuk benar-benar masuk ke dunia digital,” kata Tessa.

Ia juga menyoroti pentingnya inovasi seperti QR Tap dan sandbox regulation di Bank Indonesia yang membuka ruang aman untuk uji coba teknologi baru. “Tanpa ruang inovasi seperti itu, fintech akan sulit berkembang,” ujarnya.

Menyalakan Daya Kolektif Asia Tenggara

Connect for Change (C4C) Summit 2025 menandai langkah besar KUMPUL dalam membangun ekosistem lintas batas. Melalui forum ini, KUMPUL memperkenalkan Scale-Up Readiness Index (SCRIN) dan ATLAS x ERIA Whitepaper, dua inisiatif untuk mengukur kesiapan bisnis dan memperkuat kolaborasi lintas negara.

“Fokus kami adalah membangun alat dan kerangka kerja praktis agar kolaborasi bisa diukur,” ujar Mega Prawita, Managing Director KUMPUL. “Kami ingin membantu pengusaha dan pembuat kebijakan mengidentifikasi faktor pendorong pertumbuhan yang skalabel dan inklusif.”

Dalam pandangan Faye, kekuatan Asia Tenggara bukan hanya pada populasinya yang mencapai 678 juta orang, tetapi pada potensi collective power-nya. “Kita ini silent giant. Kalau kekuatan itu bisa diaktifkan bersama, Asia Tenggara bisa jadi poros ekonomi baru dunia,” tutupnya.

Berita Terkait :