Mattompang Akbar 10.000 Bilah: Euforia Budaya di Tanah Bone

Prosesi Mattompang Akbar 10.000 Bilah di Lapangan Merdeka, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, Rabu (9/4/2025)/Foto: Andi Mardana
sosmed-whatsapp-green
Trends.co.id Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Dari ujung Leppae hingga pusat kota Watampone, ribuan masyarakat tumpah ruah di Lapangan Merdeka, Rabu (9/4/2025). Mereka tidak datang sekadar menyaksikan, mereka hadir untuk menjaga warisan, menggenggam bilah pusaka, dan bersama menyalakan bara semangat kebudayaan. Inilah Mattompang Akbar, ritual sakral 10.000 bilah yang menggema untuk memperingati Hari Jadi Bone ke-695.

TRENDS.CO.ID, BONE – Suara genderang menggema dari tengah Lapangan Merdeka Bone, Sulawesi Selatan, Rabu siang yang terik. Ribuan orang berpakaian adat  berkumpul dalam satu semangat yang sama: merawat tradisi. Mereka datang membawa bilah atau badik pusaka warisan leluhur untuk mengikuti ritual budaya sakral bertajuk “Mattompang Akbar 10.000 Bilah”, sebuah perayaan penuh makna dalam rangka memperingati Hari Jadi Bone (HJB) ke-695.

Acara ini turut dihadiri oleh Bupati Bone Andi Asman Sulaiman dan Wakil Bupati Bone Andi Akmal Pasluddin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bone Andi Tenri Walinonong, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Maryam, serta seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan pemerhati budaya dari Kabupaten Bone dan berbagai wilayah di Sulawesi.

Gelaran ini tak sekadar seremoni. Ia adalah manifestasi semangat kolektif masyarakat Bone untuk menjaga jati diri di tengah arus modernisasi. Ribuan peserta hadir dari berbagai pelosok desa, bahkan dari luar kabupaten, membawa masing-masing satu sampai tiga bilah badik, menjadikan jumlahnya diperkirakan mencapai 10.000 bilah.

“Alhamdulillah, hari ini kita telah mengadakan Mattompang Akbar, 10.000 bilah. Ini adalah euforia masyarakat Bone, yang sejak lama menantikan momen seperti ini untuk berkumpul dan melestarikan kebudayaan,” ujar Ketua Panitia Mattompang Akbar, Andi Tenri Polojiwa yang juga dikenal sebagai pemerhati budaya dan Ketua Yayasan Pusaka Sulawesi di Bone, Rabu (9/4/2025).

Simbol Sakral Warisan Leluhur

Mattompang Akbar 10.000 Bilah: Euforia Budaya di Tanah Bone_trends.co.id
Prosesi Mattompang Akbar 10.000 Bilah di Lapangan Merdeka, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, Rabu (9/4/2025)/Foto: Andi Mardana

Mattompang berasal dari kata “tompang” yang berarti membersihkan atau mensucikan. Dalam konteks budaya Bone, ritual ini menjadi bentuk penghormatan terhadap bilah atau badik pusaka, simbol identitas dan spiritualitas masyarakat Bugis. Badik dibersihkan menggunakan jeruk, air, dan dibacakan doa-doa atau salawat, menandakan proses pembersihan fisik sekaligus batin.

“Badik itu bukan hanya senjata, tetapi simbol. Di dalam Islam dikenal istilah tafa’ul doa dalam bentuk simbol. Pamor atau ure di dalam bilah itu memiliki nilai spiritual. Maka saat kita membersihkannya, itu juga menyucikan niat, jiwa, dan harapan kita,” jelas Andi Tenri.

Perayaan dari Swadaya

Uniknya, hampir seluruh pembiayaan acara ini bersumber dari swadaya masyarakat. Tak ada anggaran besar dari pemerintah, justru ini menjadi contoh bagaimana masyarakat mampu bersatu demi budaya.

“90 persen biaya kegiatan ini berasal dari swadaya pemerhati seni dan budaya Bone. Jadi ini tidak membebani pemerintah. Sesuai dengan arahan Presiden Prabowo soal efisiensi anggaran kita harus jadi masyarakat yang tidak manja, dan harus kreatif,” tutur Andi Tenri.

Ia pun menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam menjaga keberlangsungan budaya. “Jangan sedikit-sedikit menyalahkan pemerintah. Kalau mau budaya kita bertahan, kita sendiri yang harus bergerak,” tambahnya.

Perjuangan Budayawan: Di Antara Tantangan dan Idealisme

Namun bukan tanpa tantangan. Andi Tenri dengan lugas menyampaikan bagaimana beratnya menjadi seorang budayawan di tengah arus zaman yang menggerus nilai-nilai tradisi.

“Kalau mau jadi orang kaya, jadi pengusaha. Tapi kalau mau jadi orang miskin, ya jadi budayawan,” selorohnya. “Ini kerja dari hati. Banyak sekali tantangan, terutama dari keluarga yang tidak mengerti bahwa budaya adalah identitas.”

Menurutnya, untuk menjaga agar budaya tetap hidup di tengah gempuran modernitas, perlu ada pendekatan strategis: dari dokumentasi naskah, hingga pelibatan generasi muda. “Kami datangi para orang tua. Masih banyak budayawan senior yang tidak mau tampil, tapi kami jemput mereka karena mereka adalah gudang pengetahuan,” katanya.

Nilai Religiusitas yang Selaras

Dalam pelaksanaannya, Mattompang juga membuktikan bahwa kebudayaan dan agama tidak saling bertentangan. Justru, keduanya saling menguatkan dalam konteks kearifan lokal Bone yang telah tersaring sejak era kerajaan.

“Kita lihat dari sejarah, Raja-Raja Bone semuanya punya gelar Islam. Jadi budaya kita sudah terfilter sejak dulu. Tidak ada yang bertentangan dengan agama,” ujar Andi Tenri. “Ketika kita matompang, kita bersalawat. Itu spiritualitas.”

Jejak Sejarah dari Parewa Bessi

Mattompang bukan tradisi baru. Ia telah ada sejak masa pemerintahan Raja Bone II, La Ummasak Petta Padre Bessi’e, yang juga dikenal sebagai Sayyid Usman. Raja ini bukan hanya penguasa, tapi juga Padre Bessi ahli penempa besi.

“Beliau raja besar yang menawungi banyak kerajaan kecil, dan di masanya, kerajaan Bone makmur. Bahkan salah satu alat pertanian karya beliau rakkala yang dijadikan arajang di Sigeri,” jelas Andi Tenri. Dari sinilah budaya ‘matompang’ bermula, menandai betapa eratnya keterkaitan antara kepemimpinan, spiritualitas, dan kebudayaan di Bone.

Dari Hati, Untuk Bone

Bupati Bone, menurut Andi Tenri, sangat mendukung kegiatan ini. Bahkan sebelum pihak panitia menyampaikan maksud acara, Bupati telah menyambut dengan hangat.

“Beliau langsung bilang, ‘Pasti mau bikin kebudayaan. Bikin acara Mattompang. Yang besar ya. Saya tidak mau tahu, budaya Bone harus maju,’” kenang Andi Tenri dengan bangga. Sosok pemimpin yang mendukung penuh tradisi menjadi semangat baru bagi para budayawan.

Diharapkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Mattompang Akbar 10.000 Bilah diharapkan dapat masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Mengingat hanya Bone yang memiliki tradisi ini dalam bentuk ritual sakral terhadap bilah pusaka.

“Kalau di Makassar, ada ritual Accera Kalompoang, tapi hanya Bone yang punya Matompang Arajang,” ujar Andi Tenri.

Dengan melibatkan ribuan peserta dari seluruh Sulawesi dan pemerhati budaya se-Kabupaten Bone, acara ini tak hanya menampilkan kebesaran masa lalu, tetapi juga mengukuhkan bahwa Bone masih menjadi pusat spiritual dan budaya di Sulawesi Selatan.

Penutup: Energi Kolektif dalam Bingkai Tradisi

Mattompang Akbar bukan hanya ritual pembersihan badik warisan. Ia adalah momentum penyatuan energi kolektif masyarakat Bone yang ingin menunjukkan bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan fondasi kehidupan.

Di tengah terik matahari, para peserta tetap bertahan, membawa bilah mereka, menyusuri waktu, melintasi sejarah, dan menyambungkan kembali warisan leluhur dengan generasi hari ini.

Tradisi ini tidak hanya tentang masa lalu, tapi tentang masa depan. Bagaimana Bone dan seluruh masyarakat Sulawesi bisa tetap berdiri teguh dalam identitasnya. Karena pada akhirnya, budaya bukan soal nostalgia, tapi soal keberlanjutan.

Berita Terkait :