
Solo travel menawarkan sebuah cara untuk kembali ke akar diri, menemukan kedamaian batin, dan menghargai hidup dengan cara yang lebih mendalam.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren solo travel atau perjalanan solo telah mengalami peningkatan yang signifikan, terutama di kalangan milenial. Fenomena ini tidak hanya tentang eksplorasi geografis, tetapi juga merupakan perjalanan ke dalam diri sendiri, sebuah pencarian spiritual dan emosional yang mendalam.
Berbagai alasan mendasari peningkatan tren ini, termasuk keinginan untuk menemukan jati diri, melarikan diri dari rutinitas sehari-hari, atau bahkan hanya untuk merasakan kebebasan tanpa batas.
Perjalanan solo telah menjadi lebih dari sekadar tren; ini adalah gerakan yang mencerminkan pencarian makna hidup di tengah kehidupan modern yang serba cepat. Menurut sebuah laporan dari Condé Nast Traveler, ada peningkatan 20% dalam jumlah pelancong solo selama dua tahun terakhir. Laporan ini juga menyebutkan bahwa 70% dari pelancong solo ini adalah wanita berusia antara 25-35 tahun, yang mengeksplorasi dunia dan diri mereka sendiri.
“Saya melakukan perjalanan solo pertama saya ke Bali tahun lalu. Tujuannya bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga untuk mencari ketenangan dan menemukan siapa diri saya sebenarnya,” ungkap Ayu Pratiwi, seorang konten kreator berusia 28 tahun, dilansir dari The Jakarta Post.
“Selama perjalanan, saya mengikuti beberapa kelas meditasi, berbicara dengan penduduk setempat, dan benar-benar terputus dari kehidupan digital. Itu adalah pengalaman yang membuka mata dan membuat saya lebih menghargai kehidupan,” kata Ayu.